Pada hari Minggu, 26 November yang lalu, Pendeta Stephen Tong menyampaikan khotbah tentang kerendahan hati, di mana beliau dengan penuh hikmat membahas ciri-ciri yang mencerminkan kerendahan hati. Pada intinya, Dr.Tong menegaskan bahwa kerendahan hati yang kristiani tidaklah terikat pada suatu kumpulan perilaku tertentu yang bersifat lahiriah, melainkan lebih berkenaan dengan sikap batiniah yang diwarnai oleh kematangan hubungan seseorang dengan Tuhan Yesus. Kerendahan hati jauh lebih dalam daripada sekedar penampilan. Oleh karena kerendahan hati bukanlah perkara mudah. Saya teringat akan ucapan Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris yang memimpin kerajaan tersebut melalui Perang Dunia II. Ia mengatakan bahwa kerendahan hati adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai karena pada waktu seseorang mengaku bahwa ia sudah rendah hati, pada saat itu juga ia sudah tidak lagi rendah hati. Memang muskil namun tidak berarti mustahil.
Menurut saya ungkapan Churchill itu tidak seluruhnya tepat sebab pemahaman yang benar akan kerendahan hati akan memungkinkan seseorang memeriksa dirinya apakah ia sudah rendah hati ataukah belum. Sewaktu Rasul Paulus sedang menasehati jemaat di Filipi agar mereka memelihara kesatuan tubuh Kristus, ia menyelipkan satu resepnya, yakni, "Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri" (Filipi 2:3b). Saya yakin, jika Tuhan sendiri sudah memerintahkan kepada kita supaya rendah hati, maka Ia pun telah menjabarkannya buat kita apakah rendah hati itu dan bagaimana caranya memiliki sikap hidup yang penuh kerendahan hati. (Dalam khotbahnya itu, Pendeta Tong memaparkan hal ini secara terinci; jadi, siapa yang berminat mempelajarinya lebih jauh, silakan memesan kaset rekamannya dari Lembaga Reformed Injili Indonesia.) Berikut ini saya akan mencoba mengimbuh perihal kerendahan hati ini dengan segala kerendahan hati.
Saya mengamati bahwa acap kali kerendahan hati diminati dan dikejar secara keliru, begitu kelirunya sehingga mengorbankan satu hal yang sangat penting, yaitu penilaian diri yang berimbang. Saya percaya Firman Tuhan yang dicatat dalam Roma 12:3 meneguhkan kembali kehendak-Nya, yakni agar kita mempunyai penilaian diri yang berimbang. Mohon perhatikan dengan seksama bagian firman ini, "Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir sedemikian rupa (but rather think of yourself with sober judgment), sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing." Memang tidak seharusnya kita menggelembungkan diri namun sebaliknya Tuhan juga tidak menganjurkan agar kita menggemboskan diri. Ia menghendaki supaya kita dapat melihat dan menilai siapa kita (judgment) dengan penuh kesadaran dan akal sehat (sober). Kecenderungan kita biasanya adalah menggembosi diri karena kita begitu takut dituduh sombong.
Saya mendefinisikan kerendahan hati sebagai kemampuan untuk hidup otentik dan menyangkal diri demi Kristus. Saya akan jelaskan apa yang saya maksud dengan "kemampuan untuk hidup otentik". Otentik berarti asli, di mana apa yang di luar atau yang ditampilkan sama dengan apa yang di dalam atau yang tidak ditampilkan. Jadi, orang yang rendah hati adalah orang yang otentik di mana perbuatan atau perilakunya memang mencerminkan siapa dia sebenarnya. Mari kita sejajarkan kedua hal ini: Yang Di Luar=Yang Di Dalam. Sekarang coba kita goyangkan keseimbangan ini. Misalnya, yang pertama ialah dengan cara membesarkan Yang Di Luar sehingga bobotnya jauh melebihi Yang Di Dalam. Apa yang terjadi? Kesombongan! Apabila kita membesar- besarkan diri sedangkan kita tidaklah seperti yang kita gembar- gemborkan, itu adalah pertanda kita sombong. Sebaliknya, apa yang terjadi jika Yang Di Luar jauh lebih kecil dari Yang Di Dalam? Keminderan! Prestasi yang kita tunjukkan jauh di bawah kemampuan kita yang sesungguhnya. Di sini kita dapat melihat bahwa pada kasus yang pertama hasilnya adalah gejala superioritas sedangkan pada kasus kedua ialah gejala inferioritas.
Alfred Adler, seorang psikoanalis satu generasi di bawah Freud, mempunyai satu teori yang menarik tentang hal superioritas- inferioritas ini. Ia berpandangan bahwa setiap manusia memiliki kekurangan-kekurangan pada dirinya (inferioritas). Oleh sebab itu manusia senantiasa berupaya berjuang untuk menambal kekurangan- kekurangan ini menuju suatu kesempurnaan (superioritas). Bagi Adler, perjuangan untuk menyempurnakan diri sebetulnya suatu hal yang sehat, namun bisa menjadi tidak sehat, bergantung pada keadaan orang itu sendiri. Orang yang neurotik alias terganggu dan ditindih oleh kecemasan akan berjuang mencapai kesempurnaan ini secara tidak sehat. Misalnya, orang yang tidak berkemampuan memimpin namun kebetulan berwewenang memimpin akan melaksanakan tugasnya secara otoriter. Bagi yang sehat, pertama-tama ia akan mengakui kekurangannya tersebut dan kemudian akan berusaha belajar memimpin. Mungkin ia tak akan segan meminta petunjuk orang lain yang lebih berpengalaman dan mengakui kekeliruannya bilamana perlu. Sekarang saya akan coba menerapkan pandangan Adler ini ke dalam pokok pembahasan semula.
Kesombongan (superioritas) dan keminderan (inferioritas) sebagaimana yang telah saya kemukakan tadi sesungguhnya merupakan wujud dari kepribadian yang memang sudah tidak sehat dan berkaitan erat dengan penilaian diri yang tidak berimbang. Saya kira tidak ada orang yang menganggap dirinya sempurna; biasanya selalu saja ada kekurangan yang kita temukan pada diri sendiri. Yang penting ialah menyadari dan mengakui kekurangan kita serta berusaha memperbaikinya secara sehat. Apabila kita tenggelam dalam kekurangan kita, kita mulai masuk ke kolam keminderan. Begitu mindernya sehingga kita tidak bisa lagi mengingat dan menghargai kelebihan kita. Yang terjadi di sini adalah Yang Di Luar lebih kecil daripada Yang Di Dalam. Akibatnya, kita cenderung menganggap diri tidak mampu sehingga semakin hari semakin banyak menciptakan kegagalan. Dengan kata lain, sebelum perang sudah kalah dulu. Sebaliknya dengan kesombongan. Keinginan untuk menyempurnakan kekurangan kita menjadi berlebihan sehingga tidak lagi realistik. Kita gagal melihat kenyataan akan kemampuan kita yang sebenarnya karena telah terobsesi untuk lebih sempurna. Yang terjadi di sini adalah Yang Di Luar jauh melampaui Yang Di Dalam.
Bagi yang berkiblat ke bidang matematika, saya akan menuliskan rumusnya. Orang yang rendah hati ialah orang yang otentik. Otentik adalah Yang Di Luar = Yang Di Dalam. Apabila Yang Di Luar > Yang Di Dalam = Superioritas (Kesombongan). Jika Yang Di Luar < dalam =" Inferioritas">
Tuhan tidak membenci penilaian diri yang positif-yang sepantasnya. Yang Ia benci ialah kecongkakan. Jangan takut mengakui kekurangan, namun juga jangan takut mengakui kelebihan. Dua-duanya tidak membuat kita sempurna; hanya mendorong kita lebih rendah hati-lebih otentik.
0 comments:
Post a Comment